Scoop has an Ethical Paywall
Work smarter with a Pro licence Learn More

World Video | Defence | Foreign Affairs | Natural Events | Trade | NZ in World News | NZ National News Video | NZ Regional News | Search

 

ET Alliance for Intl Tribunal recalls Invasion Day

Press release from the East Timor National Alliance for an International Tribunal, Dili, Timor Leste

Embargo until 10:00 am Dili time, 7 December 2003
Bahasa Indonesia version follows below

We Must Not Forget
Invasion Day, 7 December 1975

Twenty-eight years ago today, Indonesian invaded our country, initiating a barrage of crimes against humanity that lasted until four years ago. Although most of our people were not born at the time of the invasion, we all live with its legacy; victims include nearly every family in Timor Leste.

Today the Indonesian occupation is over, and our nation is free. Yet those who designed and perpetrated crimes against our people, which were also crimes against humanity, are evading responsibility. Legal processes in Jakarta and in Dili have proven unwilling and/or unable to hold the architects and perpetrators of these crimes accountable.

The crimes which began on 7 December 1975 must not be forgotten. Today, international and Timor Leste political leaders call for reconciliation, but reconciliation between low-level Timor Leste criminals and their victims does not absolve Indonesian military and political leaders of responsibility for their crimes. As victims all over the world know, reconciliation cannot be achieved without justice.

In Indonesia, impunity has boosted careers, enabling those who committed crimes against Timor Leste to repeat those crimes. Just this week, Timbul Silaen was named head of Indonesian police in West Papua. Silaen commanded Indonesia's police in Timor Leste from March 1998 until September 1999, and has been indicted by the Serious Crimes Unit for "crimes against humanity including murder, enforced disappearance, inhumane acts and deportation". He was also charged with failing to control his subordinates by the toothless ad hoc court in Jakarta, which acquitted him.

Advertisement - scroll to continue reading

Are you getting our free newsletter?

Subscribe to Scoop’s 'The Catch Up' our free weekly newsletter sent to your inbox every Monday with stories from across our network.

Although some in Dili and Jakarta claim that there is a new government in Indonesia, the authority given to Timbul Silaen in Papua and Adam Damiri in Aceh, and the sanctuary given more than 300 criminals indicted by the Serious Crimes Unit, show that little has changed.

Amnesia cannot substitute for accountability.

We remember that governments around the world closed their eyes on 7 December 1975, or provided diplomatic, political and military support to Indonesia's illegal invasion and occupation. In a truly just world, their leaders would be co-defendants with Suharto and his underlings who violated our legal and human rights.

The international responsibility for justice has not yet been fulfilled. So on this sad anniversary, we recall our history and demand:

1. An international tribunal to end criminality in Indonesian, support security for Timor Leste, and respect the experiences of the victims. United Nations and Indonesian investigating commissions in 2000 recommended the establishment of an international tribunal if other processes prove ineffective, so we now ask the international community to make good on that promise.

2. International diplomatic, economic and political pressure on Indonesia to cooperate with the Serious Crimes Unit and Special Panels. There will not be justice until the international community musters the political will to force the government of Indonesia to end the cycle of impunity and promotion.

3. Continuing international financial backing to help us reconstruct our country, as one way for the governments of the world to compensate for enabling its destruction. Timor Leste should not be forced into debt to repair damage inflicted by international agents.

4. International support for the human rights and aspirations of the people of Aceh and Papua, so that they will not be ignored and violated as we were for 24 years.

5. Understanding by Timor Leste's leaders of the victims' desire for justice, and support for our call for the international community to take responsibility to hold perpetrators and masterminds accountable, wherever they may be.

Dili, Timor Leste 7 December 2003

Contact: Rosentino Amado Hei +670-723-7172 (Bahasa Indonesia) Joao Sarmento +670-723-5043 (Bahasa Indonesia or English)

=================

Aliansi Nasional Timor Lorosa'e untuk Pengadilan Internasional d/a Perkumpulan HAK, Farol, Dili, Timor Lorosa'e

Siaran Pers

Kita Tidak Boleh Melupakan Hari Invasi, 7 Desember 1975

Hari ini tepatnya dua puluh depalan tahun lalu, Indonesia menginvasi negara kita, yang mengawali serangkaian kejahatan terhadap kemanusian yang baru berakhir empat tahun silam. Kendatipun sebagian besar rakyat kita belum lahir pada saat invasi berlangsung, kita semua hidup dengan warisannya, korban yang mencakup hampir setiap keluarga di Timor Lorosa'e.

Kini pendudukan Indonesia tersebut telah berakhir, dan negara kita telah bebas. Tetapi pihak-pihak yang merancang dan melakukan kejahatan terhadap rakyat kita, yang juga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, mengelakkan pertanggungjawaban. Berbagai proses hukum baik di Jakarta maupun di Dili telah membuktikan tiadanya kehendak dan/atau ketidakmampuan meminta pertanggungjawaban para arsitek dan pelaku kejahatan-kejahatan tersebut.

Kejahatan yang dimulai pada 7 Desember 1975 tidak boleh dilupakan. Hari ini, para pemimpin politik internasional dan Timor Lorosa'e mendesakkan rekonsiliasi, tetapi rekonsiliasi hanya antara para penjahat kelas teri dengan para korban tidak menghilangkan pertanggungjawaban pihak militer beserta para pemimpin militer Indonesia atas kejahatan mereka. Sebagaimana para korban di seluruh dunia paham, rekonsiliasi tidak dapat dicapai tanpa keadilan.

Di Indonesia, kekebalan hukum telah mendongkrak karir, dengan memampukan pihak-phak yang melakukan kejahatan di Timor Lorosa'e mengulang kembali kejahatan-kejahatan serupa. Pekan ini, Timbul Silaen diangkat menjadi Kepala Polisi Indonesia di Papua Barat. Silaen mengepalai polisi Indonesia di Timor Lorosa'e dari Maret 1998 hingga September 1999, dan ia telah didakwa oleh Unit Kejahatan Berat untuk "kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk pembunuhan, penghilangan yang dipaksakan, tindakan-tindakan keji serta deportasi". Ia juga telah dituntut atas kegagalannya dalam mengendalikan anak buahnya oleh pengadilan ad hoc di Jakarta yang ompong, yang kemudian membebaskannya.

Walaupun sejumlah kalangan di Dili dan Jakarta mengklaim bahwa telah hadir suatu pemerintahan baru di Indonesia, kewenangan yang diberikan kepada Timbul Silaen di Papua dan Adam Damiri di Aceh, dan perlindungan yang diberikan kepada lebih dari 300 penjahat yang didakwa oleh Unit Kejahatan Berat, menandakan bahwa hanya ada sedikit perubahan.

Melupakan masa lalu tidak dapat meniadakan pertanggungjawaban.

Kami mengingat bahwa pemerintahan di seluruh dunia menutup mata mereka pada 7 Desember 1975, atau memberikan dukungan diplomatik, politik dan militer kepada invasi ilegal berikut pendudukannya. Dalam suatu dunia yang benar-benar adil, para pemimpin dari pemerintahan-pemerintahan tersebut bisa menjadi tersangka bersama dengan Suharto dan bawahan-bawahannya yang melanggar hak-hak legal dan asasi manusia kami.

Tanggungjawab internasional akan keadilan belum digenapi. Dengan demikian pada peringatan hari invasi yang sedih ini, kita mengenang kembali sejarah kita dan menuntut:

1. Suatu pengadilan internasional untuk mengakhiri kejahatan di Indonesia, dukungan keamanan bagi Timor Lorosa'e, dan menghargai pengalaman para korban. Komisi-komisi penyelidik PBB dan Indonesia di tahun 2000 merekomendasikan dididirikannya suatu pengadilan internasional jika proses-proses lainnya terbukti tidak efektif, sehingga kami kini mendesak masyarakat internasional untuk memenuhi janji tersebut.

2. Tekanan internasional di bidang diplomatik, ekonomi dan politik atas Indonesia agar bekerja sama dengan Unit Kejahatan Berat dan Panel-panel Khusus. Tidak akan ada keadilan hingga masyarakat internasional mengerahkan kemauan politik untuk memaksa pemerintah Indonesia guna menyudahi lingkaran kekebalan hukum dan naik pangkat.

3. Melanjutkan sokongan keuangan internasional guna membantu kami membangun negeri kami, sebagai suatu upaya dari pemerintah-pemerintah dunia untuk memberikan kompensasi dengan cara membiarkan kehancuran negeri kami. Timor Lorosa'e tidak boleh digiring ke dalam utang-piutang untuk memperbaiki kerusakan yang didalangi oleh agen-agen internasional.

4. Dukungan internasional terhadap hak asasi manusia dan aspirasi masyarakat Aceh dan Papua, sehingga mereka tidak diabaikan dan menjadi korban kekerasan seperti kami selama kurun waktu 24 tahun.

5. Pengertian dari para pemimpin Timor Lorosa'e akan aspirasi para korban akan keadilan, dan dukungan akan tuntutan kita pada masyarakat internasional untuk meminta pertanggungjawaban dari para pelaku dan otak berbagai kejahatan, di manapun mereka berada.

Kontak: Rosentino Amado Hei 723-7172


© Scoop Media

Advertisement - scroll to continue reading
 
 
 
World Headlines

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Join Our Free Newsletter

Subscribe to Scoop’s 'The Catch Up' our free weekly newsletter sent to your inbox every Monday with stories from across our network.